Sabtu, 21 November 2009

KASUS HIV/AIDS DI INDONESIA MENINGKAT TAJAM

Kasus HIV/AIDS di Indonesia kian mengerikan, seiring dengan jumlahnya yang terus meningkat tajam setiap tahun. Hingga periode September 2009, jumlah kadus AIDS yang dilaporkan mencapai 18.442 kasus.
“Kasus HIV/AIDS di Indonesia bagaikan gunung es. Yang terlihat hanya 10 persen dari jumlah kasus yang sebenarnya,” kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) Nafsiah Mboi, di Jakarta, Kamis (12/11)
KPAN memprediksi jumlah kasus HIV/AIDS sebenarnya mencapai 298.000 kasus. Padahal jumlah yang dilaporkan, untuk penderita AIDS hanya 18.442 dan kasus HIV berjumlah 28.260 kasus. Sehingga total penderita HIV/AIDS hanya mencapai 46.702 kasus.
Data KPA N menunjukkan, tahun 1987 jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia masih 5 kasus. Dan hanya dalam tempo 10 tahun, bertambah menjadi 44 kasus. Tetapi sejak 2007, kasus AIDS tiba-tiba melonjak menjadi 2.947 dan periode Juni 2009, meningkat hingga delapan kali lipat menjadi 17.699 kasus.
Nafsiah mengatakan, kematian akibat AIDS hingga Maret 2009 mencapai 3.492 orang. Diestimasikan pada tahun 2014 akan terdapat 501.400 kasus HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS ini sudah terdapat di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Penderita ditemukan terbanyak pada usia 15-29 tahun. “Padahal, pengurangan kasus HIV/AIDS merupakan salah satu target Millenium Development Goals (MDG’s),” katanya.
Nafsiah menegaskan, kencangnya peningkatan kasus HIV/AIDS sebagian besar diakibatkan penularan melalui hubungan seksual, selain juga melalui suntikan, transfusi dan sebagian kecil tertular karena kehamilan dan melalui pajanan saat bekerja. Pajanan adalah persitiwa yang menimbulkan risiko penularan.
Pajanan ada tigamacam, yaitu pajanan di tempat kerja, yang biasanya menimpa petugas perawatan kesehatan. “Peristiwa ini biasanya kecelakaan akibat tertusuk jarum suntik bekas pakai secara tidak sengaja pada petugas. Pajanan juga dapat terjadi dengan pisau bedah, atau jika darah atau cairan lain pasien terkena luka terbuka, atau mulut, hidung atau mata petugas atau orang lain,” ujar Nafsiah.
Kedua, pajanan akibat hubungan seks berisiko, misalnya bila kondom pecah atau lepas saat seorang ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) berhunungan seks dengan pasangan HIV-negatif. Terakhir pajanan akibat perkosaan di mana pemerkosanya hampir pasti tidak memakai kondom. Tambahannya, jika hubungan seks terjadi secara paksa yang disertai kekerasan, risikonya lebih tinggi.
Oleh karena itu Nafsiah menekankan, penularan melalui hubungan seks berisiko harus dicegah. Seks berisiko bisa menyebabkan kehamilan yang tidak direncanakan dan memicu penularan HIV/AIDS. “Penggunaan kondom harus dilakukan untuk mencegah seks berisiko. Ini untuk melindungi diri sendiri, pasangan dan anak,” kata Nafsiah menegaskan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar